Monday 14 December 2009

Bulu Mata Ronaldo

Clientku, seorang Brand Manager sebuah multinational company memekik nyaris histeris ketika Media Planner mengajukan usulan untuk memasang iklan produknya di sebuah acara pertandingan sepak bola di TV yang tayangannya berlangsung dini hari.
“Buat apa memasang iklan kita di tayangan yang seluruh penontonnya laki-laki???”
Jawaban sang Media Planner bahwa prosentase penonton wanita juga lumayan membuatnya sekali lagi terpekik:”Ha??? Perempuan nonton bola?”

Terlepas dari issue validitas survey dan monopoli data dari satu lembaga survey yang itu-itu juga, gejala makin banyaknya wanita menonton bola tak bisa dipungkiri. Di acara nonton bareng pertandingan bola di café-café di Jakarta, jeritan dan teriakan khas perempuan muda makin hari makin terdengar nyaring saja. Siapa yang tak suka? Ekspresi, sensasi visual dan aroma wangi mereka membuat acara beginian jadi tambah berwarna saja.

Lalu apa yang membuat para perempuan mulai menggilai bola, sebuah olah raga yang telah sekian lama dipandang sebagai teritori laki-laki? Bersiaplah dengan jawaban mereka. Mereka tidak mengikatkan diri pada fanatisme club tertentu. Mereka juga tidak menikmati olah ketrampilan dan setrategi permainan bola. Sebagian malah gak tau apa itu off-side.

Bagi sebagian besar wanita, magnet terbesar yang menarik mereka untuk memelototi permainan bola adalah daya tarik para pemainnya. Contohnya adalah Sari, seorang teman yang menggilai Ronaldo. Ketika aku tanya, apa yang menyebabkan dirinya termehek-mehek dengan Ronaldo, dengan senyum gembira dan mata berkejap-kejap Sari menjawab: “Aku suka Ronaldo karena bulu matanya. Bagus!”

GUBRAK!!!

Cristiano Ronaldo
Sebagai bagian dari produk budaya massa, sepak bola tak lepas dari hukum-hukumnya. Salah satunya adalah munculnya apa yang dulu disebut primadona. Dalam dinamika yg seperti ini, bintang lapangan dielu-elukan layaknya artis film atau rockstar. Siapa tidak kenal Beckham, Owen, Kaka atau Ronaldo. Saya yakin, wajah Beckham lebih sering muncul di media gossip dari pada di media olah raga. Penata rambut dan perancang busanapun ikut terlibat dalam urusan pencitraannya.

Tentu saja mereka bisa melakukan apa saja, karena jangan lupa, selain ditaburi ketenaran mereka juga dilimpahi kekayaan. Catatan terahir menunjukkan kekayaan Beckham mencapai 1,9 triliun!!! Beckham tidak sendiri. Sebut saja Ronaldo yang diramalkan juga akan semakin menumpuk harta secara harga kontraknya saja senilai 1,3 trilyun rupiah! Setiap musim Ronaldo akan menerima gaji 168 miliar plus bonus dari sponsor sejumlah 50 miliar per tahun!!!!

Hmmm… melihat angka-angka itu aku jadi maklum, kenapa Sari makin kepincut sama Ronaldo, milyuner pengggocek bola berbulu mata lentik itu.

Monday 7 December 2009

Iwan Fals

Whalah…. Puluhan tahun menggumamkan lagu-lagunya Iwan Fals, masih saja aku kesulitan membuat karikaturnya. Kesulitannya barangkali justru terletak pada fakta bahwa selama tiga puluh tahun itu muka, pribadi, dan musik Iwan Fals telah bertransformasi secara terus menerus.

Ingatan pertama tentang Iwan Fals dimulai tahun 1979, saat aku membeli album Canda Dalam Ronda. Memutar lagu-lagunya di album ini sama saja memancing protes ibuku saat itu: “Lagu kok kayak begitu.”

“… jika sepasang monyet tidur
jadi buyut moyangku
jika buyut moyangku tidur
jadi kakek dan nenekku…” (Dongeng Sebelum Tidur)

Pantas saja ibuku protes!

Iwan muncul pas aku menginjak ABG dan sedang getol-getolnya mencari simbol-simbol untuk mengukuhkan identitas. Self concept sebagai pemberontak adalah pilihan yg paling sexy saat itu (hahaha). Setelah Teguh Esha dengan novel “Ali Topan Anak Jalanan” dan disusul Yudhistira Masardi dengan novel m’beling “Arjuna Mencari Cinta”, kehadiran Iwan Fals dengan lagu protesnya datang tepat pada waktunya. Semua KLOP, kecuali narasi media tentang Iwan Fals sebagai penyanyi bekas pengamen. Bagiku drama itu tak lebih dari strategi pemasaran. Di mataku, Iwan Fals terlalu klimis untuk jadi pengamen sungguhan. Kaos oblong dan jeans belel tak sanggup menutupi “urat” mukanya sebagai orang berpunya. Belakangan aku tahu Iwan memang pernah benar-benar mengamen di Bandung di era 80 an.

Album Sarjana Muda dengan hits Guru Oemar Bakrie menandai popularitas Iwan Fals yang terus meroket. Sentilan dan protesnya mewarnai lagu-lagunya. Tapi manajemen label dengan aransemen yang lebih serius yang dikerjakan oleh Willy Sumantri membuat lagu Iwan jadi makin tergarap sekaligus kehilangan spontanitas. Sejak album ini pelan-pelan hilanglah karakter Iwan sebagai penyanyi humor (label ini melekat pada Iwan setelah jadi pemenang festifal lagu humor yg diselenggarakan Arwah Setiawan). Lihat tampang Iwan di cover album Sarjana Muda. Sejak dulu aku geli membayangkan Iwan harus berpose bak foto model dalam sebuah studio foto salon. Keseluruhan mood dan tonality cover ini kelewat manis untuk lagu-lagunya yang nakal:

“… Garuda bukan burung perkutut
Sang saka bukan sandang pembalut
Dan coba kau dengarkan
Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut…”
(Bangunlah Putra Putri Pertiwi)

(Hahaha…. jadi ingat… waktu pawai HUT Kemerdekaan di Jogja, panitia melarang kontingen SMA ku ikut pawai devile gara-gara penggalan lagu itu jadi satu-satunya hiasan di mobil hias kami.)

Setelah Album Sarjana Muda popularitas Iwan Fals tak lagi terbendung. Kecuali tetap rajin menyanyikan lagu bernada protes, Iwan makin piawai menggubah dan menyanyikan lagu balada dan cinta. Bertolak belakang dengan lagu-lagu roman dan baladanya yang makin manis, tampang Iwan Fals bertransformasi menjadi lebih berkarakter: Rambut kriting agak panjang plus kumis tebal melintang di atas bibir.

Memasuki industri rekaman dengan genre musik country, Iwan tiba-tiba menghentak dengan irama rock. Barangkali ini dipengaruhi oleh kehadiran Ian Antono yang mulai bekerja sama dengan Iwan di album 1920. Hentakan rock ini makin kentara di album Mata Dewa. Aku melihat di situlah Iwan mencapai puncak kematangannya. Dalam balutan rock, eksplorasi thema Iwan makin ekstensif sekaligus sublim sementara ekspresinya jadi makin kaya. Iwan bukan lagi punokawan yang suka melucu sambil menyindir. Ia telah bertransformasi, menyampaikan protesnya dengan menggeram, menghardik dan berteriak:

“… orang sisa-sisa menangis
orang sisa-sisa menangis
air matanya
air matanya
air matanya
api….” (Air Mata Api)

Pada periode ini tampang Iwan makin mirip rocker era Woodstock, lengkap dengan rambut kriting lebat panjang plus kumis, jampang dan bewok yang dibiarkan tumbuh liar ke mana-mana. Image rebellion ini ini masih terus dibawa saat Iwan berkolaborasi dengan seniman lain dalam Swami dan Kantata Takwa. Inilah image Iwan yang paling populer. Kita bisa melihat grafisnya yang banyak menghiasi bak-bak truk di sepanjang Pantura.

Setelah periode hingar-bingar, memasuki tahun 2000 an Iwan pelahan-lahan mulai memasuki periode yang lebih tenang dan matang. Musiknya menjadi lebih sederhana, themanya pun lebih dewasa. Kumis, jampang bewok lebih sering absen dalam penampilannya. Tampang Iwan mulai kembali rapi. Rambutnya yang dibabat pendek mulai beruban. Kesannya makin bijaksana saja.

Nah… pada periode mana aku harus menggambarnya?

Iwan Fals
Setelah beberapa kali bikit sketsa, beginilah jadinya.

Thursday 3 December 2009

Zara's Wedding

Krishna & Zara
Don’t you know, Zara? You were put me through that pain when you asked me to make your wedding caricature. I was broken hearted, deeply jealous. Anyway… there was nothing I can say but… wishing you a life of marital bliss.

Tuesday 1 December 2009

Munir

Munir
“Human right, in the sense of human solidarity, have created a new universal and equal language going beyond racial, gender or ethnic boundaries. That is why we consider these as a dialogue for people of all socio-cultural groups and all ideologyes” (MUNIR, 1965 - 2004)

Monday 30 November 2009

Romo Mangun

I was on my second year at senior high school when I first met JB Mangunwijaya, who is more widely known as Romo Mangun, in an interview for the school magazine's feature story. I can still recall vividly the words he said when I asked him for the interview.

"Hmmm… how convenience you are. I have to do all the thinking and all you have to do is just write them down."

The sharp words have a sinister ring to it. Subsequent encounters were mostly through his works, essays or books that he had written, aside from numerous occasions, where I met him during my “extra cast” days in the “Girli”, short form of pinggir kali (riverside) community in bank of Code, Yogyakarta.

Of course, it is inappropriate for a high school boy to judge another persons based solely on first impressions, especially when it involves a Romo Mangun. Most of us are certainly no strangers to Romo Mangun’s works that reach into various areas of expertise, namely architecture, culture, literature and education, not to mention the many humanitarian acts that have brought out the true nobleness of Romo Mangun.

There is Erwithon Ngapitupulu or more popular as Erwin, a farmer architect of architect farmer, who for years has been documenting architectural works of Romo Mangun religiously, using his own means and expenses.

Erwin’s documentation on Romo Mangun’s works has never been an easy task as the architectural structures were in an immense variety and scattered far and wide to the remotest parts. More daunting still, is the fact that not all Romo Mangun’s architectural designs were in drawings. One example is Arief Budiman’s house in Salatiga. When I happened to visit the residence of this new order regime rebel, Leila Ch Budiman, Arief’s wife recollected how Romo Mangun had scribbled the initial design of the house on the ground using a twig.

All the years documenting Romo Mangun’s masterpieces brought Erwin to a disheartening realization of how today’s generation are seem to be ignorant toward Romo Mangun’s existence, or worse, doesn’t know him at all. This gave the lecturer, who lives in Bandung, the encouragement to keep promoting the works, thoughts and ideas of Romo Mangun.

I consider myself lucky, when I got the privilege of helping Erwin designing T-shirts for Romo Mangun’s admirers. On Erwin’s insight, I managed to design a caricature of Romo Mangun to be printed on the T-shirts. Not only as an effort to raise funds for his documentation works, the sales of these T-shirts is also expected to be able to bring Romo Mangun’s figure closer to the hearts of the younger generation.

March on Erwin!... Keep Romo Mangun’s spirit and idealism alight!

Wednesday 25 November 2009

dr. WIDYA

dr Widya
Karikatur ini bermula dari sebuah gambar potret yang diunggah oleh dr Widya di account Facebooknya. Belakangan aku tahu kalau gambar itu dibuat oleh seorang pelukis di Melbourne yang diperolehnya saat berlibur di sana. Status yang menyertai bernada gemas : “Sekian dolar dan sama sekali tidak mirip.” (Maaf, terus terang aku hanya bisa mengiyakan)

Dengan semangat bercanda aku memberi comment: “Coba aku yang buat…”

Terjebak oleh kata-kata sendiri, aku tak bisa menghindar dan “terpaksa” membuat karikatur ini. Selain menghiasi kamarnya, karikatur ini sempat beberapa minggu menghiasi account facebook dr Widya sebagai foto profile. Aku merasa sangat tersanjung sekaligus bingung dengan comment dr Widya saat itu: “Wahh… auraku ternyata lebih keluar kalau dibikin karikatur.”
Kok suka ngomongin aura? Sebenarnya dr Widya ini dokter atau dukun, sih?

Friday 13 November 2009

DAVE

Dave gets retired
Most people say retirement is the end of a journey. For you Dave, it’s just the beginning.
I knew, for you work is only part of what you want to do in your life. Now, you’re retiring from working, and you'll have more time for the other adventure.

Good luck Dave… just enjoy it!

Tuesday 10 November 2009

MAY


“Pease, make it more beautiful and younger, darling.”

Maaf May, harus kuakui aku tak sepenuhnya mendengar kata-katamu saat itu. Segenap perhatian dan indraku tersedot oleh pesonamu..

Lagian… kenapa harus dibuat lebih muda? Aku tak melihat ketuaan dalam dirimu. Yang kulihat hanya kedewasaan dan kematangan yang makin menyihir saja.

Tak ada botox, tak perlu facelift untuk karikatur ulang tahun ini. Satu-satunya yang aku lakukan untuk memenuhi permintaanmu adalah dengan membalik lilin ulang tahun berbentuk angka saja.

“I turned 42 to 24. Now it looks younger isn’t it?”
“You mad artist you!”

Swear… pas memaki kamu jadi makin sexy!

Monday 9 November 2009

MANDELA & PULAU ROBBEN

Beberapa tahun yang lalu, mungkin banyak orang justru merasa beruntung jika tidak pernah mengunjungi Afrika Selatan. Betapa tidak, setiap kali berkunjung ke suatu negara, pihak imigrasi setempat selalu menyodorkan isian yang harus dijawab:
“Pernahkah Anda mengunjungi Afrika Selatan?”
Barangkali akan ada beberapa pertanyaan susulan yang merepotkan jika kita menjawabnya pernah.

Kini aku merasa beruntung karena sempat mengunjungi negara yang indah itu. Jika pertanyaan itu kembali diajukan, rasanya aku akan menjawab pertanyaan itu dengan suka cita: “Ya, aku pernah mengunjungi Afrika Selatan.”

Ada banyak banyak pengalaman menarik selama mengunjungi ujung selatan benua hitam ini. Satu-satunya kekecewaan yang aku alami - dan ini kekecewaan yang sangat dalam - aku tidak sempat mengunjungi Pulau Robben.

Berkunjung ke pulau Robben adalah agenda utama yang aku tulis begitu saya hendak mengunjung Afrika Selatan. Bagiku, pulau bekas penjara yang telah dubuka untuk umum ini ini bukan sembarang obyek wisata biasa, Bagiku pulau bekas penjara ini adalah monumen Anti Apartheit yang membuat kunjungan ke sana lebih tepat disebut sebagai ziarah daripada sekedar wisata.

Semua orang tahu, di pulau Robben inilah Nelson Mandela menghabiskan 27 hidupnya di dalam tahanan demi menegakkan sikap dan perjuangannya untuk menentang aphartheit. Meringkuk selama 27 tahun dalam tahanan bukannya melemahkan Nelson Mandela. Hukuman selama itu justru memperkuat perlawanannya untuk menentang rezim Apartheit yang telah mencabik-cabik Afrika Selatan selama berabad-abad.

Sejak menjejakkan kaki di bandara internasional Cape Town, aku sungguh tak sabar menjalani pengalaman unik itu. Aku ingin segera meringkuk dalam penjara yang dulu dibangun oleh rezim apartheit itu dan merasakan hal yang sama seperti yang pernah dirasakan oleh Nelson Mandela! Tentu aku tidak perlu meringkuk di dalamnya selama 27 tahun. Beberapa menit cukup buat aku!

Sayang sekali, meskipun aku tinggal di Cape Town selama 10 hari, aku tidak punya kesempatan sekalipun untuk menjejakkan kaki di pulau Robben. Cuaca, angin dan ombak yang tak bersahabat ditambah jadual pekerjaan yang tidak tepat membuat aku tidak pernah bertolak dari pelabuhan Cape Town menuju pulau penjara yang telah dibuka sebagai obyek wisata tersebut.

Robben IslandPada malam terakhir di Cape Town, aku harus menghadapi kepastian bahwa aku tidak bisa mengunjungi pulau itu. Dalam suasana hati yang kecewa aku langsung membuka laptop dan mulai membuat karikatur, Beberapa jam kemudian aku bertolak kembali ke Indonesia dengan karikatur Nelson Mandela setengah jadi tersimpan di dalam hard disk laptop. Saat transit di Changi dan mendarat di Jakarta , tak ada pertanyaan “Pernahkah Anda mengunjungi Afrika Selatan?”