Monday 7 December 2009

Iwan Fals

Whalah…. Puluhan tahun menggumamkan lagu-lagunya Iwan Fals, masih saja aku kesulitan membuat karikaturnya. Kesulitannya barangkali justru terletak pada fakta bahwa selama tiga puluh tahun itu muka, pribadi, dan musik Iwan Fals telah bertransformasi secara terus menerus.

Ingatan pertama tentang Iwan Fals dimulai tahun 1979, saat aku membeli album Canda Dalam Ronda. Memutar lagu-lagunya di album ini sama saja memancing protes ibuku saat itu: “Lagu kok kayak begitu.”

“… jika sepasang monyet tidur
jadi buyut moyangku
jika buyut moyangku tidur
jadi kakek dan nenekku…” (Dongeng Sebelum Tidur)

Pantas saja ibuku protes!

Iwan muncul pas aku menginjak ABG dan sedang getol-getolnya mencari simbol-simbol untuk mengukuhkan identitas. Self concept sebagai pemberontak adalah pilihan yg paling sexy saat itu (hahaha). Setelah Teguh Esha dengan novel “Ali Topan Anak Jalanan” dan disusul Yudhistira Masardi dengan novel m’beling “Arjuna Mencari Cinta”, kehadiran Iwan Fals dengan lagu protesnya datang tepat pada waktunya. Semua KLOP, kecuali narasi media tentang Iwan Fals sebagai penyanyi bekas pengamen. Bagiku drama itu tak lebih dari strategi pemasaran. Di mataku, Iwan Fals terlalu klimis untuk jadi pengamen sungguhan. Kaos oblong dan jeans belel tak sanggup menutupi “urat” mukanya sebagai orang berpunya. Belakangan aku tahu Iwan memang pernah benar-benar mengamen di Bandung di era 80 an.

Album Sarjana Muda dengan hits Guru Oemar Bakrie menandai popularitas Iwan Fals yang terus meroket. Sentilan dan protesnya mewarnai lagu-lagunya. Tapi manajemen label dengan aransemen yang lebih serius yang dikerjakan oleh Willy Sumantri membuat lagu Iwan jadi makin tergarap sekaligus kehilangan spontanitas. Sejak album ini pelan-pelan hilanglah karakter Iwan sebagai penyanyi humor (label ini melekat pada Iwan setelah jadi pemenang festifal lagu humor yg diselenggarakan Arwah Setiawan). Lihat tampang Iwan di cover album Sarjana Muda. Sejak dulu aku geli membayangkan Iwan harus berpose bak foto model dalam sebuah studio foto salon. Keseluruhan mood dan tonality cover ini kelewat manis untuk lagu-lagunya yang nakal:

“… Garuda bukan burung perkutut
Sang saka bukan sandang pembalut
Dan coba kau dengarkan
Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut…”
(Bangunlah Putra Putri Pertiwi)

(Hahaha…. jadi ingat… waktu pawai HUT Kemerdekaan di Jogja, panitia melarang kontingen SMA ku ikut pawai devile gara-gara penggalan lagu itu jadi satu-satunya hiasan di mobil hias kami.)

Setelah Album Sarjana Muda popularitas Iwan Fals tak lagi terbendung. Kecuali tetap rajin menyanyikan lagu bernada protes, Iwan makin piawai menggubah dan menyanyikan lagu balada dan cinta. Bertolak belakang dengan lagu-lagu roman dan baladanya yang makin manis, tampang Iwan Fals bertransformasi menjadi lebih berkarakter: Rambut kriting agak panjang plus kumis tebal melintang di atas bibir.

Memasuki industri rekaman dengan genre musik country, Iwan tiba-tiba menghentak dengan irama rock. Barangkali ini dipengaruhi oleh kehadiran Ian Antono yang mulai bekerja sama dengan Iwan di album 1920. Hentakan rock ini makin kentara di album Mata Dewa. Aku melihat di situlah Iwan mencapai puncak kematangannya. Dalam balutan rock, eksplorasi thema Iwan makin ekstensif sekaligus sublim sementara ekspresinya jadi makin kaya. Iwan bukan lagi punokawan yang suka melucu sambil menyindir. Ia telah bertransformasi, menyampaikan protesnya dengan menggeram, menghardik dan berteriak:

“… orang sisa-sisa menangis
orang sisa-sisa menangis
air matanya
air matanya
air matanya
api….” (Air Mata Api)

Pada periode ini tampang Iwan makin mirip rocker era Woodstock, lengkap dengan rambut kriting lebat panjang plus kumis, jampang dan bewok yang dibiarkan tumbuh liar ke mana-mana. Image rebellion ini ini masih terus dibawa saat Iwan berkolaborasi dengan seniman lain dalam Swami dan Kantata Takwa. Inilah image Iwan yang paling populer. Kita bisa melihat grafisnya yang banyak menghiasi bak-bak truk di sepanjang Pantura.

Setelah periode hingar-bingar, memasuki tahun 2000 an Iwan pelahan-lahan mulai memasuki periode yang lebih tenang dan matang. Musiknya menjadi lebih sederhana, themanya pun lebih dewasa. Kumis, jampang bewok lebih sering absen dalam penampilannya. Tampang Iwan mulai kembali rapi. Rambutnya yang dibabat pendek mulai beruban. Kesannya makin bijaksana saja.

Nah… pada periode mana aku harus menggambarnya?

Iwan Fals
Setelah beberapa kali bikit sketsa, beginilah jadinya.

No comments:

Post a Comment