
“… jika sepasang monyet tidur
jadi buyut moyangku
jika buyut moyangku tidur
jadi kakek dan nenekku…” (Dongeng Sebelum Tidur)
Pantas saja ibuku protes!
Iwan muncul pas aku menginjak ABG dan sedang getol-getolnya mencari simbol-simbol untuk mengukuhkan identitas. Self concept sebagai pemberontak adalah pilihan yg paling sexy saat itu (hahaha). Setelah Teguh Esha dengan novel “Ali Topan Anak Jalanan” dan disusul Yudhistira Masardi dengan novel m’beling “Arjuna Mencari Cinta”, kehadiran Iwan Fals dengan lagu protesnya datang tepat pada waktunya. Semua KLOP, kecuali narasi media tentang Iwan Fals sebagai penyanyi bekas pengamen. Bagiku drama itu tak lebih dari strategi pemasaran. Di mataku, Iwan Fals terlalu klimis untuk jadi pengamen sungguhan. Kaos oblong dan jeans belel tak sanggup menutupi “urat” mukanya sebagai orang berpunya. Belakangan aku tahu Iwan memang pernah benar-benar mengamen di Bandung di era 80 an.

“… Garuda bukan burung perkutut
Sang saka bukan sandang pembalut
Dan coba kau dengarkan
Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut…”
(Bangunlah Putra Putri Pertiwi)
(Hahaha…. jadi ingat… waktu pawai HUT Kemerdekaan di Jogja, panitia melarang kontingen SMA ku ikut pawai devile gara-gara penggalan lagu itu jadi satu-satunya hiasan di mobil hias kami.)
Setelah Album Sarjana Muda popularitas Iwan Fals tak lagi terbendung. Kecuali tetap rajin menyanyikan lagu bernada protes, Iwan makin piawai menggubah dan menyanyikan lagu balada dan cinta. Bertolak belakang dengan lagu-lagu roman dan baladanya yang makin manis, tampang Iwan Fals bertransformasi menjadi lebih berkarakter: Rambut kriting agak panjang plus kumis tebal melintang di atas bibir.
Memasuki industri rekaman dengan genre musik country, Iwan tiba-tiba menghentak dengan irama rock. Barangkali ini dipengaruhi oleh kehadiran Ian Antono yang mulai bekerja sama dengan Iwan di album 1920. Hentakan rock ini makin kentara di album Mata Dewa. Aku melihat di situlah Iwan mencapai puncak kematangannya. Dalam balutan rock, eksplorasi thema Iwan makin ekstensif sekaligus sublim sementara ekspresinya jadi makin kaya. Iwan bukan lagi punokawan yang suka melucu sambil menyindir. Ia telah bertransformasi, menyampaikan protesnya dengan menggeram, menghardik dan berteriak:
“… orang sisa-sisa menangis
orang sisa-sisa menangis
air matanya
air matanya
air matanya
api….” (Air Mata Api)


Nah… pada periode mana aku harus menggambarnya?
Setelah beberapa kali bikit sketsa, beginilah jadinya.
No comments:
Post a Comment