Monday 30 November 2009

Romo Mangun

I was on my second year at senior high school when I first met JB Mangunwijaya, who is more widely known as Romo Mangun, in an interview for the school magazine's feature story. I can still recall vividly the words he said when I asked him for the interview.

"Hmmm… how convenience you are. I have to do all the thinking and all you have to do is just write them down."

The sharp words have a sinister ring to it. Subsequent encounters were mostly through his works, essays or books that he had written, aside from numerous occasions, where I met him during my “extra cast” days in the “Girli”, short form of pinggir kali (riverside) community in bank of Code, Yogyakarta.

Of course, it is inappropriate for a high school boy to judge another persons based solely on first impressions, especially when it involves a Romo Mangun. Most of us are certainly no strangers to Romo Mangun’s works that reach into various areas of expertise, namely architecture, culture, literature and education, not to mention the many humanitarian acts that have brought out the true nobleness of Romo Mangun.

There is Erwithon Ngapitupulu or more popular as Erwin, a farmer architect of architect farmer, who for years has been documenting architectural works of Romo Mangun religiously, using his own means and expenses.

Erwin’s documentation on Romo Mangun’s works has never been an easy task as the architectural structures were in an immense variety and scattered far and wide to the remotest parts. More daunting still, is the fact that not all Romo Mangun’s architectural designs were in drawings. One example is Arief Budiman’s house in Salatiga. When I happened to visit the residence of this new order regime rebel, Leila Ch Budiman, Arief’s wife recollected how Romo Mangun had scribbled the initial design of the house on the ground using a twig.

All the years documenting Romo Mangun’s masterpieces brought Erwin to a disheartening realization of how today’s generation are seem to be ignorant toward Romo Mangun’s existence, or worse, doesn’t know him at all. This gave the lecturer, who lives in Bandung, the encouragement to keep promoting the works, thoughts and ideas of Romo Mangun.

I consider myself lucky, when I got the privilege of helping Erwin designing T-shirts for Romo Mangun’s admirers. On Erwin’s insight, I managed to design a caricature of Romo Mangun to be printed on the T-shirts. Not only as an effort to raise funds for his documentation works, the sales of these T-shirts is also expected to be able to bring Romo Mangun’s figure closer to the hearts of the younger generation.

March on Erwin!... Keep Romo Mangun’s spirit and idealism alight!

Wednesday 25 November 2009

dr. WIDYA

dr Widya
Karikatur ini bermula dari sebuah gambar potret yang diunggah oleh dr Widya di account Facebooknya. Belakangan aku tahu kalau gambar itu dibuat oleh seorang pelukis di Melbourne yang diperolehnya saat berlibur di sana. Status yang menyertai bernada gemas : “Sekian dolar dan sama sekali tidak mirip.” (Maaf, terus terang aku hanya bisa mengiyakan)

Dengan semangat bercanda aku memberi comment: “Coba aku yang buat…”

Terjebak oleh kata-kata sendiri, aku tak bisa menghindar dan “terpaksa” membuat karikatur ini. Selain menghiasi kamarnya, karikatur ini sempat beberapa minggu menghiasi account facebook dr Widya sebagai foto profile. Aku merasa sangat tersanjung sekaligus bingung dengan comment dr Widya saat itu: “Wahh… auraku ternyata lebih keluar kalau dibikin karikatur.”
Kok suka ngomongin aura? Sebenarnya dr Widya ini dokter atau dukun, sih?

Friday 13 November 2009

DAVE

Dave gets retired
Most people say retirement is the end of a journey. For you Dave, it’s just the beginning.
I knew, for you work is only part of what you want to do in your life. Now, you’re retiring from working, and you'll have more time for the other adventure.

Good luck Dave… just enjoy it!

Tuesday 10 November 2009

MAY


“Pease, make it more beautiful and younger, darling.”

Maaf May, harus kuakui aku tak sepenuhnya mendengar kata-katamu saat itu. Segenap perhatian dan indraku tersedot oleh pesonamu..

Lagian… kenapa harus dibuat lebih muda? Aku tak melihat ketuaan dalam dirimu. Yang kulihat hanya kedewasaan dan kematangan yang makin menyihir saja.

Tak ada botox, tak perlu facelift untuk karikatur ulang tahun ini. Satu-satunya yang aku lakukan untuk memenuhi permintaanmu adalah dengan membalik lilin ulang tahun berbentuk angka saja.

“I turned 42 to 24. Now it looks younger isn’t it?”
“You mad artist you!”

Swear… pas memaki kamu jadi makin sexy!

Monday 9 November 2009

MANDELA & PULAU ROBBEN

Beberapa tahun yang lalu, mungkin banyak orang justru merasa beruntung jika tidak pernah mengunjungi Afrika Selatan. Betapa tidak, setiap kali berkunjung ke suatu negara, pihak imigrasi setempat selalu menyodorkan isian yang harus dijawab:
“Pernahkah Anda mengunjungi Afrika Selatan?”
Barangkali akan ada beberapa pertanyaan susulan yang merepotkan jika kita menjawabnya pernah.

Kini aku merasa beruntung karena sempat mengunjungi negara yang indah itu. Jika pertanyaan itu kembali diajukan, rasanya aku akan menjawab pertanyaan itu dengan suka cita: “Ya, aku pernah mengunjungi Afrika Selatan.”

Ada banyak banyak pengalaman menarik selama mengunjungi ujung selatan benua hitam ini. Satu-satunya kekecewaan yang aku alami - dan ini kekecewaan yang sangat dalam - aku tidak sempat mengunjungi Pulau Robben.

Berkunjung ke pulau Robben adalah agenda utama yang aku tulis begitu saya hendak mengunjung Afrika Selatan. Bagiku, pulau bekas penjara yang telah dubuka untuk umum ini ini bukan sembarang obyek wisata biasa, Bagiku pulau bekas penjara ini adalah monumen Anti Apartheit yang membuat kunjungan ke sana lebih tepat disebut sebagai ziarah daripada sekedar wisata.

Semua orang tahu, di pulau Robben inilah Nelson Mandela menghabiskan 27 hidupnya di dalam tahanan demi menegakkan sikap dan perjuangannya untuk menentang aphartheit. Meringkuk selama 27 tahun dalam tahanan bukannya melemahkan Nelson Mandela. Hukuman selama itu justru memperkuat perlawanannya untuk menentang rezim Apartheit yang telah mencabik-cabik Afrika Selatan selama berabad-abad.

Sejak menjejakkan kaki di bandara internasional Cape Town, aku sungguh tak sabar menjalani pengalaman unik itu. Aku ingin segera meringkuk dalam penjara yang dulu dibangun oleh rezim apartheit itu dan merasakan hal yang sama seperti yang pernah dirasakan oleh Nelson Mandela! Tentu aku tidak perlu meringkuk di dalamnya selama 27 tahun. Beberapa menit cukup buat aku!

Sayang sekali, meskipun aku tinggal di Cape Town selama 10 hari, aku tidak punya kesempatan sekalipun untuk menjejakkan kaki di pulau Robben. Cuaca, angin dan ombak yang tak bersahabat ditambah jadual pekerjaan yang tidak tepat membuat aku tidak pernah bertolak dari pelabuhan Cape Town menuju pulau penjara yang telah dibuka sebagai obyek wisata tersebut.

Robben IslandPada malam terakhir di Cape Town, aku harus menghadapi kepastian bahwa aku tidak bisa mengunjungi pulau itu. Dalam suasana hati yang kecewa aku langsung membuka laptop dan mulai membuat karikatur, Beberapa jam kemudian aku bertolak kembali ke Indonesia dengan karikatur Nelson Mandela setengah jadi tersimpan di dalam hard disk laptop. Saat transit di Changi dan mendarat di Jakarta , tak ada pertanyaan “Pernahkah Anda mengunjungi Afrika Selatan?”