Tuesday 2 February 2010

BEGITU SAJA KOK REPOT

gus DUR
All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid

Ternyata lebih mudah menggambar karikaturnya daripada menulis tentang Gus Dur. Dalam kebingungan untuk memulai, akhirnya aku comot ucapan di atas. Aku tidak yakin ini ucapan yang terpenting. Aku bahkan tidak tahu apakah comotan ucapan ini bakal relevan dengan keseluruhan tulisan ini nantinya. Gitu saja kok repot! Apalah yang aku ketahui tentang Gus Dur kecuali ”kulakan” berita TV, koran dan tulisan yang menurutku tidak juga sepenuhnya memahami dirinya.

Aku memang tidak bermaksud jumawa bahwa aku punya bentangan luas nalar untuk memahami semua sepak terjang dan pemikiran Gus Dur. Aku hanya bagian dari begitu banyak orang yang sering dibuat terkesima, tak faham bahkan bingung dengan perilakunya. Dalam kelompok ini, pastilah aku bukan pihak yang pantas untuk menghakiminya.

Seperti jamaknya orang di republik ini, tak mudah bagiku untuk menjangkau pemikiran Gus Dur. Namun justru dalam jarak inilah kuletakkan kekagumanku pada Gus Dur. Pada dasarnya aku memang tidak terbiasa mengagumi sesuatu yang terlalau dekat. Kekagumanku hanya milik mereka yang tinggi, jauh dan nyaris tak teraih.

Di sisi lain… memperhatikan Gus Dur seperti bermain scrabble saja. Asyik…. selalu ada ruang kosong dalam tindak tanduk dan ucapannya… yang memaksa kita untuk mengisinya dengan interprestasi kita sendiri. Dan berbeda dengan sebagian orang yang tiba-tiba jadi marah dan sewot… aku lebih sering merasa adem, terwakili, tercerahkan bahkan terhibur olehnya. Dan seperti aku kemukakan di awal tadi, selalu saja ada yang tercecer dan tak aku fahami…. Dan kalau itu terjadi.. aku juga tidak mau ambil pusing. “Gitu aja kok repot, ya Gus?”

Selamat jalan Gus Dur.

Thursday 28 January 2010

Megan Fox

Megan Fox
My son and I like Transformer very much. My son worship Optimus Prime while I idolize… Megan Fox!

Monday 14 December 2009

Bulu Mata Ronaldo

Clientku, seorang Brand Manager sebuah multinational company memekik nyaris histeris ketika Media Planner mengajukan usulan untuk memasang iklan produknya di sebuah acara pertandingan sepak bola di TV yang tayangannya berlangsung dini hari.
“Buat apa memasang iklan kita di tayangan yang seluruh penontonnya laki-laki???”
Jawaban sang Media Planner bahwa prosentase penonton wanita juga lumayan membuatnya sekali lagi terpekik:”Ha??? Perempuan nonton bola?”

Terlepas dari issue validitas survey dan monopoli data dari satu lembaga survey yang itu-itu juga, gejala makin banyaknya wanita menonton bola tak bisa dipungkiri. Di acara nonton bareng pertandingan bola di café-café di Jakarta, jeritan dan teriakan khas perempuan muda makin hari makin terdengar nyaring saja. Siapa yang tak suka? Ekspresi, sensasi visual dan aroma wangi mereka membuat acara beginian jadi tambah berwarna saja.

Lalu apa yang membuat para perempuan mulai menggilai bola, sebuah olah raga yang telah sekian lama dipandang sebagai teritori laki-laki? Bersiaplah dengan jawaban mereka. Mereka tidak mengikatkan diri pada fanatisme club tertentu. Mereka juga tidak menikmati olah ketrampilan dan setrategi permainan bola. Sebagian malah gak tau apa itu off-side.

Bagi sebagian besar wanita, magnet terbesar yang menarik mereka untuk memelototi permainan bola adalah daya tarik para pemainnya. Contohnya adalah Sari, seorang teman yang menggilai Ronaldo. Ketika aku tanya, apa yang menyebabkan dirinya termehek-mehek dengan Ronaldo, dengan senyum gembira dan mata berkejap-kejap Sari menjawab: “Aku suka Ronaldo karena bulu matanya. Bagus!”

GUBRAK!!!

Cristiano Ronaldo
Sebagai bagian dari produk budaya massa, sepak bola tak lepas dari hukum-hukumnya. Salah satunya adalah munculnya apa yang dulu disebut primadona. Dalam dinamika yg seperti ini, bintang lapangan dielu-elukan layaknya artis film atau rockstar. Siapa tidak kenal Beckham, Owen, Kaka atau Ronaldo. Saya yakin, wajah Beckham lebih sering muncul di media gossip dari pada di media olah raga. Penata rambut dan perancang busanapun ikut terlibat dalam urusan pencitraannya.

Tentu saja mereka bisa melakukan apa saja, karena jangan lupa, selain ditaburi ketenaran mereka juga dilimpahi kekayaan. Catatan terahir menunjukkan kekayaan Beckham mencapai 1,9 triliun!!! Beckham tidak sendiri. Sebut saja Ronaldo yang diramalkan juga akan semakin menumpuk harta secara harga kontraknya saja senilai 1,3 trilyun rupiah! Setiap musim Ronaldo akan menerima gaji 168 miliar plus bonus dari sponsor sejumlah 50 miliar per tahun!!!!

Hmmm… melihat angka-angka itu aku jadi maklum, kenapa Sari makin kepincut sama Ronaldo, milyuner pengggocek bola berbulu mata lentik itu.

Monday 7 December 2009

Iwan Fals

Whalah…. Puluhan tahun menggumamkan lagu-lagunya Iwan Fals, masih saja aku kesulitan membuat karikaturnya. Kesulitannya barangkali justru terletak pada fakta bahwa selama tiga puluh tahun itu muka, pribadi, dan musik Iwan Fals telah bertransformasi secara terus menerus.

Ingatan pertama tentang Iwan Fals dimulai tahun 1979, saat aku membeli album Canda Dalam Ronda. Memutar lagu-lagunya di album ini sama saja memancing protes ibuku saat itu: “Lagu kok kayak begitu.”

“… jika sepasang monyet tidur
jadi buyut moyangku
jika buyut moyangku tidur
jadi kakek dan nenekku…” (Dongeng Sebelum Tidur)

Pantas saja ibuku protes!

Iwan muncul pas aku menginjak ABG dan sedang getol-getolnya mencari simbol-simbol untuk mengukuhkan identitas. Self concept sebagai pemberontak adalah pilihan yg paling sexy saat itu (hahaha). Setelah Teguh Esha dengan novel “Ali Topan Anak Jalanan” dan disusul Yudhistira Masardi dengan novel m’beling “Arjuna Mencari Cinta”, kehadiran Iwan Fals dengan lagu protesnya datang tepat pada waktunya. Semua KLOP, kecuali narasi media tentang Iwan Fals sebagai penyanyi bekas pengamen. Bagiku drama itu tak lebih dari strategi pemasaran. Di mataku, Iwan Fals terlalu klimis untuk jadi pengamen sungguhan. Kaos oblong dan jeans belel tak sanggup menutupi “urat” mukanya sebagai orang berpunya. Belakangan aku tahu Iwan memang pernah benar-benar mengamen di Bandung di era 80 an.

Album Sarjana Muda dengan hits Guru Oemar Bakrie menandai popularitas Iwan Fals yang terus meroket. Sentilan dan protesnya mewarnai lagu-lagunya. Tapi manajemen label dengan aransemen yang lebih serius yang dikerjakan oleh Willy Sumantri membuat lagu Iwan jadi makin tergarap sekaligus kehilangan spontanitas. Sejak album ini pelan-pelan hilanglah karakter Iwan sebagai penyanyi humor (label ini melekat pada Iwan setelah jadi pemenang festifal lagu humor yg diselenggarakan Arwah Setiawan). Lihat tampang Iwan di cover album Sarjana Muda. Sejak dulu aku geli membayangkan Iwan harus berpose bak foto model dalam sebuah studio foto salon. Keseluruhan mood dan tonality cover ini kelewat manis untuk lagu-lagunya yang nakal:

“… Garuda bukan burung perkutut
Sang saka bukan sandang pembalut
Dan coba kau dengarkan
Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut…”
(Bangunlah Putra Putri Pertiwi)

(Hahaha…. jadi ingat… waktu pawai HUT Kemerdekaan di Jogja, panitia melarang kontingen SMA ku ikut pawai devile gara-gara penggalan lagu itu jadi satu-satunya hiasan di mobil hias kami.)

Setelah Album Sarjana Muda popularitas Iwan Fals tak lagi terbendung. Kecuali tetap rajin menyanyikan lagu bernada protes, Iwan makin piawai menggubah dan menyanyikan lagu balada dan cinta. Bertolak belakang dengan lagu-lagu roman dan baladanya yang makin manis, tampang Iwan Fals bertransformasi menjadi lebih berkarakter: Rambut kriting agak panjang plus kumis tebal melintang di atas bibir.

Memasuki industri rekaman dengan genre musik country, Iwan tiba-tiba menghentak dengan irama rock. Barangkali ini dipengaruhi oleh kehadiran Ian Antono yang mulai bekerja sama dengan Iwan di album 1920. Hentakan rock ini makin kentara di album Mata Dewa. Aku melihat di situlah Iwan mencapai puncak kematangannya. Dalam balutan rock, eksplorasi thema Iwan makin ekstensif sekaligus sublim sementara ekspresinya jadi makin kaya. Iwan bukan lagi punokawan yang suka melucu sambil menyindir. Ia telah bertransformasi, menyampaikan protesnya dengan menggeram, menghardik dan berteriak:

“… orang sisa-sisa menangis
orang sisa-sisa menangis
air matanya
air matanya
air matanya
api….” (Air Mata Api)

Pada periode ini tampang Iwan makin mirip rocker era Woodstock, lengkap dengan rambut kriting lebat panjang plus kumis, jampang dan bewok yang dibiarkan tumbuh liar ke mana-mana. Image rebellion ini ini masih terus dibawa saat Iwan berkolaborasi dengan seniman lain dalam Swami dan Kantata Takwa. Inilah image Iwan yang paling populer. Kita bisa melihat grafisnya yang banyak menghiasi bak-bak truk di sepanjang Pantura.

Setelah periode hingar-bingar, memasuki tahun 2000 an Iwan pelahan-lahan mulai memasuki periode yang lebih tenang dan matang. Musiknya menjadi lebih sederhana, themanya pun lebih dewasa. Kumis, jampang bewok lebih sering absen dalam penampilannya. Tampang Iwan mulai kembali rapi. Rambutnya yang dibabat pendek mulai beruban. Kesannya makin bijaksana saja.

Nah… pada periode mana aku harus menggambarnya?

Iwan Fals
Setelah beberapa kali bikit sketsa, beginilah jadinya.

Thursday 3 December 2009

Zara's Wedding

Krishna & Zara
Don’t you know, Zara? You were put me through that pain when you asked me to make your wedding caricature. I was broken hearted, deeply jealous. Anyway… there was nothing I can say but… wishing you a life of marital bliss.

Tuesday 1 December 2009

Munir

Munir
“Human right, in the sense of human solidarity, have created a new universal and equal language going beyond racial, gender or ethnic boundaries. That is why we consider these as a dialogue for people of all socio-cultural groups and all ideologyes” (MUNIR, 1965 - 2004)

Monday 30 November 2009

Romo Mangun

I was on my second year at senior high school when I first met JB Mangunwijaya, who is more widely known as Romo Mangun, in an interview for the school magazine's feature story. I can still recall vividly the words he said when I asked him for the interview.

"Hmmm… how convenience you are. I have to do all the thinking and all you have to do is just write them down."

The sharp words have a sinister ring to it. Subsequent encounters were mostly through his works, essays or books that he had written, aside from numerous occasions, where I met him during my “extra cast” days in the “Girli”, short form of pinggir kali (riverside) community in bank of Code, Yogyakarta.

Of course, it is inappropriate for a high school boy to judge another persons based solely on first impressions, especially when it involves a Romo Mangun. Most of us are certainly no strangers to Romo Mangun’s works that reach into various areas of expertise, namely architecture, culture, literature and education, not to mention the many humanitarian acts that have brought out the true nobleness of Romo Mangun.

There is Erwithon Ngapitupulu or more popular as Erwin, a farmer architect of architect farmer, who for years has been documenting architectural works of Romo Mangun religiously, using his own means and expenses.

Erwin’s documentation on Romo Mangun’s works has never been an easy task as the architectural structures were in an immense variety and scattered far and wide to the remotest parts. More daunting still, is the fact that not all Romo Mangun’s architectural designs were in drawings. One example is Arief Budiman’s house in Salatiga. When I happened to visit the residence of this new order regime rebel, Leila Ch Budiman, Arief’s wife recollected how Romo Mangun had scribbled the initial design of the house on the ground using a twig.

All the years documenting Romo Mangun’s masterpieces brought Erwin to a disheartening realization of how today’s generation are seem to be ignorant toward Romo Mangun’s existence, or worse, doesn’t know him at all. This gave the lecturer, who lives in Bandung, the encouragement to keep promoting the works, thoughts and ideas of Romo Mangun.

I consider myself lucky, when I got the privilege of helping Erwin designing T-shirts for Romo Mangun’s admirers. On Erwin’s insight, I managed to design a caricature of Romo Mangun to be printed on the T-shirts. Not only as an effort to raise funds for his documentation works, the sales of these T-shirts is also expected to be able to bring Romo Mangun’s figure closer to the hearts of the younger generation.

March on Erwin!... Keep Romo Mangun’s spirit and idealism alight!